Truth or Drink

Ketiga remaja itu kini sudah duduk melingkar di meja paling depan dekat dengan meja guru—meja Adam. Bian bahkan harus menggeret kursi miliknya yang berada di barisan ketiga karena sekolah mereka memang duduknya sendiri-sendiri. Teman-temannya yang lain pun sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang tidur, pergi ke kantin, belajar, bahkan nonton drakor.

“Taraaa,” ucap Bagas sambil mengeluarkan botol berisi air lemon yang seperti ia bawa dari rumah.

“Wah beneran niat banget,” kata Bian menggeleng-gelengkan kepala.

“Terus nentuin yang kena tod-nya gimana?” tanya Adam penasaran.

Bagas menyeringai, “Pake pulpen.”

Adam dan Bian melongo sambil menatap heran sahabatnya. Bagas yang ditatap oleh kedua sahabatnya hanya tertawa, “Ayolah mulai. Bakalan seru nih!”

Bagas mulai memutarkan pulpen miliknya. Pulpen itu berhenti tepat mengarah ke Bian. “Yahhh, kok gue sih? Curang ya lo!” kata Bian menunjuk Bagas dengan kesal.

Bagas mendelik, “Curang gimana anjir, orang pulpennya yang ngarah ke lo sendiri. Kecuali gue Dedi Corbuzier, baru gue sulap nih pulpen biar ngarah ke lo terus!” jawabnya tak kalah ngegas dengan Bian.

Adam yang melihat keduanya menghela nafas, “Mau lanjutin gamenya apa mau ribut aja? Kalo mau ribut sekalian di lapangan basket noh biar diliatin semua orang.”

Bagas dan Bian terdiam. Mereka berdua kompak meminta maaf, persis seperti adik yang baru saja dimarahi oleh kakaknya.

“Jadi siapa yang mau tanya duluan?” tanya Bian menatap kedua sahabatnya bergantian.

“Gue,” jawab Bagas dengan semangat, “Lo suka sama Azka nggak?” tanyanya dengan penasaran.

Bian melirik sinis Bagas yang berada disebelahnya. Ia mendecak pelan, “Gatau, tapi emang kadang kalo gue deket sama dia suka deg-degan. Terus nyaman juga kalo lagi sama dia, kaya lagi bareng kalian gini,” jawab Bian jujur.

Adam menuangkan cairan berwarna pucat di dalam botol yang berada di depannya, “Nih minum,” kata Adam memberikan tutup botol yang sudah terisi penuh dengan air lemon.

Bagas mengangguk puas mendengar jawaban Bian, “Oke gue minum nih ye.”

Adam dan Bian tertawa puas melihat ekspresi Bagas setelah ia meminum air lemon. “Sumpah lo jadi jelek banget gas HAHAHAHA,” celetuk Bian sambil memukul meja melampiaskan ketawanya.

“Ayo lanjut-lanjut! Awas ya lo,” kata Bagas menunjuk Bian. Bian yang ditunjuk malah melet mengejek.

Pulpen kembali diputar dan berhenti mengarah ke Adam.

“WOWWW”

“Gue mau nanya!!” ucap Bian dengan semangat.

“Gue juga mau nanya!” ucap Bagas menoleh ke arah Bian.

“Kan lo udah tanya ke gue tadi!”

“Nggak ada aturan boleh nanya sekali yeee.”

Bian mendecak, ia jadi memikirkan juga bila harus meminum air lemon, “Yaudah lo aja yang tanya,” katanya pasrah.

Bagas menepuk bahu Bian, “Sabar ya nak, nanti kalo sabar pantatnya lebar,” kata Bagas mengejek Bian.

Bian langsung menarik rambut Bagas dan memukul dadanya hingga berbunyi. Bagas hanya mengeluh kesakitan. Sedangkan Adam benar-benar jengah melihat kelakuan sahabatnya yang selalu ribut.

“Ini jadi nanya kagak?” tanya Adam mencoba melerai.

Bagas mencoba melepaskan tangan Bian yang berada dirambutnya, “Jadi lah! Aw Bian sakit beneran anjing.”

Bian melepaskan tangannya dan memukul bahu Bagas sekali lagi. Bagas hanya pasrah menerima semua perlakuan Bian.

“Lo suka sama Bian?” tanya Bagas tiba-tiba dengan sedikit berbisik.

Bian terdiam.

Apa-apaan dengan pertanyaan Bagas.

Adam terdiam beberapa saat. Bian menatap Adam yang tengah menatapnya juga. Tangan Adam meraih tutup botol yang sudah terisi air lemon dengan tenang. Pemuda itu meminumnya dengan sekali tegak. Ia bahkan tidak mengeluarkan ekspresi apapun seperti sudah terbiasa meminum cairan pucat yang sangat asam itu.

Hening.

“Gue mau ke toilet dulu,” pamit Bian beranjak pergi.


“Jadi lo bakalan confess?”

“Liat nanti.”