winjuy


Jam menunjukkan pukul 06:15 pagi dan Sunoo sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Bukan tanpa alasan dirinya selalu berangkat sepagi ini. Beberapa hari ini ia memang sedang menghindari manusia bernama Nishimura Riki. Sahabat sekaligus cinta pertamanya yang selalu menjemputnya pukul 6:20. Setiap hari.

Hari ini Sunoo tidak berangkat menggunakan sepeda seperti biasanya. Ia sudah meminta papinya untuk mengantarkannya ke sekolah. Sunoo bergegas berlari dari kamarnya setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul 06:18. “Shit shit shit,” umpatnya.

“Papi mana?” Tanya Sunoo pada maminya yang lewat.

“Di depan tuh lagi nyiramin bunga,” jawab mami tanpa melihat anaknya yang sudah panik seperti akan berperang.

Sunoo menghentakkan kakinya dan menggeram. Padahal papinya sudah diberitahu bahwa hari ini dia ingin diantar, tapi papinya malah sibuk menyiram bunga. Sunoo berjalan ke arah pintu depan sambil terus menggerutu. “Awas aja kalo nyuruh beliin rokok lagi. Gue nggak akan mau!” Ia membuka pintu dengan keras dan terkejut dengan pemandangan yang ia lihat. Ayahnya sedang mengobrol dengan Riki, orang yang sedang ia hindari.

“Nah itu anaknya. Kakak sini cepet, udah ditungguin dari tadi loh ini,” ucap papi sambil melambaikan tangan menyuruh Sunoo untuk mendekat.

Riki terkekeh pelan melihat ekspresi terkejut Sunoo. Lucu, pikirnya.

Sunoo yang melihat Riki tertawa langsung mendengus keras. Pemuda itu menghampiri papinya dan mengabaikan Riki yang melambaikan tangan menyapanya.

“Ayo berangkat, Pi.”

Papi menyernyitkan dahi, “Loh kok ayo? Iniloh udah ditungguin anak ganteng.”

“Tapi kan papi udah janji mau anterin kakak!” jawab Sunoo merengek.

“Ayo sama gua aja, Noo,” ucap pemuda yang lebih tinggi dari Sunoo.

Papi mengangguk setuju, “Nah tuh, sama Riki aja sana. Lagian biasanya juga naik sepeda bareng.”

“Hari ini nggak mau naik sepeda,” ucap Sunoo pelan. Hari ini ia ada pelajaran olahraga, karena itulah dia meminta papi untuk mengantarkannya.

“Biasanya juga naik sepeda bareng, kan?”

Sebelum Sunoo menjawab, Riki sudah menyela lebih dulu, “Hari ini Sunoo ada pelajaran olahraga makanya nggak mau naik sepeda, Om.”

Hah?? HAHH???????

“Kok lu tau?” Sunoo terkejut.

“Apasih yang gua nggak tau,” goda Riki sambil mencolek dagu Sunoo.

Melihat respon anaknya yang marah setelah digoda Riki, papi hanya tertawa. Ia sudah tau bahwa anak sulungnya menyukai Riki. Bahkan kini pipi anaknya terlihat memerah karena malu.

“Udah sana berangkat, nanti telat. Papi mau masuk dulu mau ngopi,” ucap papi meninggalkan dua remaja yang masih terdiam di tempatnya.

“Gue gak punya helm motor.”

“Gua tau, makanya gua bawain nih,” Riki membuka bagasi motornya dan memberikan helm yang ada di dalamnya pada Sunoo.

“KOK WARNA PINK???” ucap Sunoo dengan sedikit berteriak.

“Punya Eri. Udah cepet pake,” ucap Riki sambil memasang helm miliknya.

Melihat Sunoo yang tidak bereaksi, akhirnya Riki mengambil kembali helm yang berada di tangan pemuda itu. Riki mencondongkan badannya agar tinggi mereka sama, menatap mata sahabatnya yang selalu dirinya puji karena memiliki mata yang cantik.

“Kalo mau dipasangin bilang dong,” ucap Riki setelah berhasil memasangkan helm pada Sunoo. Riki tersenyum, sambil terus menatap mata Sunoo yang kini sedang menatapnya juga. Cantik. Benar-benar cantik.

Jarak wajah mereka yang hanya 20 cm membuat Sunoo dapat merasakan hembusan nafas pemuda yang sedang menatapnya lekat.

Sunoo mengalihkan pandangan.

Jantungnya tidak aman.

“Udah sih ganti baju di sini aja.”

Jungwon mendecak keras mendengar ucapan Sunoo. “Kalo ada yang masuk gimana? Malu ish,” kata Jungwon sambil menghentakkan kaki persis seperti anak kecil yang sedang merajuk.

Riki yang jengah melihat tingkah sahabatnya akhirnya berjalan keluar kelas, “Nih gue tungguin pintunya. Udah lu cepetan ganti baju,” seru pemuda itu dari depan pintu kelas.

Jungwon yang sudah hampir telat untuk latihan akhirnya langsung berganti baju. Pemuda itu masih tetap saja menengok ke kanan dan kiri melihat apakah ada orang lain selain mereka bertiga.

“Nggak ada orang, Ju...” ucap Sunoo malas.

“Iya iyaa tau. Ini udah hampir kelar,” kata Jungwon yang berada di pojok belakang kelas.

Setelah berganti baju, mereka bertiga bergegas pergi ke lapangan basket. Sesampainya di sana, Jungwon terkejut melihat kedua kakaknya yang sudah duduk dan mengobrol dengan anggota ekskul basket yang lain. Jungwon menghela nafas, ia tak mengira kedua kakaknya benar-benar akan pergi melihatnya latihan.

“Adek sini!”

Panggilan Jake membuat semua orang yang berada di sana menoleh ke arah Jungwon dan membuat pemuda itu menciut. Sunoo yang lengannya dicengkeram oleh Jungwon memutar matanya malas, “Ayo, lo udah tungguin tuh.”

Jungwon menggeleng menolak. Sunoo tersenyum lebar dan menghela nafas, “Balik aja dah ayo kalo lo nggak mau latihan.”

Jungwon kembali menggeleng pelan. Pemuda itu mengerucutkan bibir,“Mau ikut latihan...” katanya pelan.

Riki yang lelah melihat tingkah sahabatnya memutar bola matanya malas. Ia akhirnya menarik paksa Jungwon yang membuat Sunoo otomatis ikut tertarik. Tingkah ketiga pemuda itu kini membuat mereka menjadi atensi semua orang yang sedang berkumpul di sana.

“Nih bang, anggota terakhir udah dateng,” ucap Riki sambil mendorong Jungwon ke arah Jay.

Jungwon yang tak siap jadi terdorong dan memekik kecil. Pemuda itu hampir terjatuh jika saja Jay tidak menahan tubuhnya.

“CIEEEEE”

“WOW SEPERTI SINETRON”

“ADUDUDUH DASAR REMAJA”

“YA ALLAH AKU KAPAN DIGITUIN”

Seruan para murid membuat keduanya kini berdiri canggung. Jake dan Heeseung yang melihat kejadian itu hanya tertawa keras melihat adiknya yang tengah salah tingkah. Mereka bahkan bisa melihat pipi sang adik yang sudah memerah seperti Tuan Krabs. Jungwon menoleh sinis ke arah Riki yang berada sebelahnya, lalu memukul lengan sahabatnya itu.

“Awas ya lo,” ancam Jungwon sambil menunjuk Riki. Riki hanya menjulurkan lidahnya merasa tidak takut. Jungwon yang melihat itu semakin geram. Untung saja sedang banyak orang, kalau tidak mungkin Riki sudah dia habisi.

Jay berdehem membersihkan tenggorokannya. Pemuda itu lalu menepuk tangan beberapa kali mencoba membuat semua orang kini berfokus padanya, “Karena udah kumpul semua, ayo mulai pemanasan. Yang mimpin hari ini gua, Kak Yeonjun lagi ada kepentingan jadi nggak bisa ikut latihan.”

**

Jungwon terduduk di sebelah Sunoo dan Riki yang berada di pinggir lapangan. Ia mencoba mengatur nafasnya setelah lari keliling lapangan untuk pemanasan.

“Baru juga pemanasan udah ngos-ngosan,” ucap Sunoo memberikan air minum ke Jungwon.

Jungwon terkekeh, “Gue masih kuat kok, tenang aja.”

Jay yang melihat Jungwon kelelahan akhirnya mendekati pemuda itu dan duduk di depannya.

“Kalo cape nggak usah ikut, istirahat aja,” ucap Jay pelan.

“Kuat kok kak, buat sparing juga kuat nih gue,” balas Jungwon sambil memamerkan otot lengannya.

Semua orang yang memperhatikan interaksi keduanya hanya saling berbisik. Ini sebenarnya mereka mau latihan basket atau mau liatin orang pacaran?

Jay tersenyum melihat Jungwon. Pemuda itu lalu menaikkan sebelah alisnya dan berkata, “Ya udah kalo gitu ayo sparing.”

Jungwon yang sedang minum hampir tersedak mendengar ucapan Jay. Semua orang yang mendengarnya juga ikut terkejut. Mereka tidak menyangka sang wakil ketua ekskul akan menanggapi serius ucapan sang adik kelas.

Jungwon yang merasa diremehkan akhirnya berdiri dan menunduk melihat Jay yang tengah duduk di depannya, “Oke. Sekalian taruhan gimana?” katanya menantang.

Jay tertawa pelan. Pemuda itu lalu berdiri berhadapan dengan Jungwon, “Ayo. Mau taruhan apa?” tanyanya santai.

Melihat reaksi santai membuat Jungwon menyesali ucapannya. Mengapa ia lupa jika Jay adalah wakit ketua ekskul basket. Jungwon lalu menoleh pada kedua sahabatnya meminta bantuan. Sunoo dan Riki hanya menggelengkan kepala tidak mau ikut campur. Melihat reaksi sahabatnya Jungwon menggeram. Ia harus memikirkan taruhan yang pas agar dirinya tidak rugi.

“Gini aja dah biar gampang,” ucap Jay yang membuat Jungwon kembali melihat ke arahnya.

“Kalo gue menang, lo jadi pacar gue. Dan kalo lo menang, gue yang jadi pacar lo.”

Semua orang yang berada di sana berteriak heboh. Jake dan Heeseung yang melihat itu kini sudah saling memukul gemas. Sunoo menutup mulutnya terkejut, sedangkan Riki bertepuk tangan dan tertawa keras.

Jungwon terkejut sampai membelalakkan matanya. Ia masih berusaha mencerna ucapan Jay yang baru saja ia dengar. Pemuda itu lalu menatap Jay yang juga tengah menatapnya.

Jay menyeringai, “Gimana? Setuju nggak?”

Jungwon kini tersenyum lebar, “Oke, setuju!” balas pemuda itu percaya diri.

Suasana di lapangan basket semakin memanas dengan teriakan para murid semakin heboh. Jake tidak sadar sudah menggigiti tasnya dan Heeseung yang sedari tadi sudah melompat-lompat kegirangan. Sunoo bahkan berpura-pura pingsan dan terjatuh dipangkuan Riki.

Sedangkan sang pemeran utama... mereka sedang saling menatap dan tersenyum. Keduanya kini tengah mengatur detak jantung masing-masing dengan senyum yang masih terus menempel di wajah mereka.

Terus kira-kira siapa yang bakal menangin taruhan ini?

“Adek buruan!”

Jungwon mendecak mendengar panggilan dari kakaknya untuk yang ketiga kalinya. Mereka ini tak tahu kalau Jungwon sedang gugup. Jungwon akhirnya menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan secara perlahan. Pemuda itu keluar mobil yang dihadiahi tepuk tangan dari kedua kakaknya yang sudah menunggunya.

“Nggak usah gugup, kaya mau nikahan aja,” celetuk Jake yang membuat Jungwon langsung mencubitnya.

Malam ini Jungwon memakai pakaian yang benar-benar santai seperti saat di rumah. Ia hanya mengenakan kaos oblong putih dengan celana training yang menggantung di belakang pintu kamarnya. Sebenarnya ia disuruh oleh kakaknya. Mereka bilang, “Yaelah dek, nggak usah dandan. Kita ke sana cuma mau mabar sambil numpang makan doang.”

Setelah sampai di depan pintu, alih-alih memencet bel Heeseung malah mengeluarkan hp dan menelfon Jay. Jungwon yang melihat kakaknya menggeleng pelan, “Padahal tinggal diketok atau nggak pencet bel loh bang,” ucapnya.

Tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan sang pemilik rumah yang terkejut. Jay terkejut melihat Jungwon yang sedang berdiri tepat di depannya.

“H-hai...” sapa Jay gugup kepada Jungwon.

Jungwon yang disapa tentu menyapa balik, ia bahkan hampir teriak melihat Jay yang malu-malu kucing begitu.

“Hadeh, remaja lagi kasmaran. Ini kita dibolehin masuk nggak?” tanya Jake yang sudah jengah melihat keduanya hanya saling bertatapan.

“Bolehlah, masuk ayo.”

Jay menuntun masuk ketiga bersaudara itu. Begitu masuk Jungwon langsung berdecak kagum melihat interior rumah Jay. Saat sedang melihat sekeliling, tiba-tiba ia melihat seseorang menuruni tangga.

KOK ADA KAK NINGNING?????


Saat ini Jungwon tengah duduk di depan kolam renang bersama Ningning. Keduanya kini sudah akrab. Ningning yang memang sangat menyukai sesuatu yang 'gemas' langsung memeluk Jungwon begitu melihatnya. Bahkan tadi Jungwon sempat lemas karena serangan mendadak itu.

“Hehehe sorry ya, Ju. Soalnya lo lebih gemes gini kalo diliat secara langsung. Tadi lo kaget banget ya?” tanya Ningning khawatir.

“Hampir jatoh kak jantung gue tiba-tiba lo peluk gitu,” jawab Jungwon jujur.

Ningning tertawa keras, “Abisnya lo lucu banget sih! Oh iya, lo mau makan duluan aja nggak? Mereka kayaknya masih lama mabarnya.”

Jungwon menimbang ajakan Ningning. Ini memang sudah hampir satu setengah jam mereka bermain PUBG. Bahkan ia bisa mendengar teriakan mereka dari sini saat lawan menyerang.

“Nanti aja nggak sih kak?”

“Sekarang aja kalo lo laper. Nunggu mereka mah lama.”

“Hm... Yaudah deh ayo.”

Perkataan Ningning benar. Sudah hampir 3 jam crush dan kedua kakaknya bermain game. Mereka benar-benar seperti sudah lupa dengan sekitarnya. Inilah mengapa ia tadi sempat menolak untuk ikut, pasti nantinya juga akan dibiarkan seperti anak hilang begini. Ningning bahkan sudah pulang dijemput orang tuanya setengah jam yang lalu. Sebelum pulang ia bahkan sempat memarahi mereka untuk memperhatikan Jungwon.

Jungwon menghela nafas panjang. Tau begini mendingan di rumah nonton drama atau anime yang belum kelar, pikirnya.

“Bosen ya?”

Jungwon terkejut hingga berteriak. Ia lalu memegang dada sebelah kiri dan merengek, “Kaget kak ya Allah.”

Jay tertawa, “Maaf maaf, lagian lo mikirin apaan sampe bengong gitu tadi.”

“Mikirin dugong!” jawab Jungwon sedikit ketus.

Jay terkekeh kecil mendengar jawaban Jungwon. Ia lalu memberikan segelas susu coklat dingin, “Nih diminum biar nggak mikirin dugong,” katanya meledek.

Jungwon berdecih dan langsung meminum susu coklatnya. Pemuda itu melotot setelah meneguk sekali, “ENAK BANGET KAK!! Sumpahh ini susu coklat paling enak yang pernah aku minum!”

“Habisin... Habisin...”

“Resepnya apa kak?” tanya Jungwon penasaran.

Jungwon tersenyum melihat Jungwon yang saat ini terlihat seperti anak kucing yang sangat menggemaskan, “Rahasia.”

Jungwon memutar bola matanya malas, “Cih pelit.”

Jay mengusap pelan rambut Jungwon, “Besok kapan-kapan gue kasih tau. Katanya lo nggak cemburu liat gue sama Ningning ya?” tanya Jay tiba-tiba yang membuat Jungwon menyemburkan susu yang baru ia minum.

Jungwon terbatuk, “Kak Ningning cepu nih pasti. Masa dia tiba-tiba DM aku bilang kalo dia mantannya kakak. Kan aku kaget ya, maksudnya buat apa gitu loh tiba-tiba DM aku. Mana tadi pagi aku bangun tidur ada notif dari dia tanya aku cemburu apa enggak habis liat kalian pulang bareng. Sebenarnya cemburu sedikit sih, segini nih, sedikit banget lah pokoknya. Eh ternyata dia malah sepupu kakak. Masa katanya aku mirip kucing peliharaan dia coba. Kak Ningning aneh, tapi baik,” ucap Jungwon menggebu-gebu.

Jay mendengarkan dengan seksama penjelasan Jungwon. Ia seperti baru saja melihat sisi lain dari diri Jungwon. Bahkan sepertinya Jungwon tidak sadar sudah memanggil dirinya sendiri dengan 'aku'.

“Dia emang gitu, kalo liat yang gemes mau itu barang, hewan, atau manusia pasti langsung heboh. Lagian kamu nggak perlu cemburu Ju...” ucap Jay menanggapi.

“Soalnya kamu yang udah menang,” lanjutnya.

Jungwon terkejut setengah mati. Sejak kapan mereka jadi pake aku kamu???

“Hah?”

Jay tertawa keras, “Pokoknya kalo ada yang ngaku-ngaku gitu lagi nggak perlu cemburu. Soalnya mereka ngehalu tuh, orang pemenangnya kamu,” jelas Jay sambil mengusak rambut Jungwon.

Jungwon masih mencerna penjelasan dari Jay. Setengah otaknya paham, setengah otaknya lagi denial. Tapi tampak jelas di mukanya kalau dia mengerti apa yang Jay bicarakan. Pipinya yang putih kini sudah bersemu merah. Bahkan bibirnya terlihat jelas sedang menahan senyum. Jay juga terlihat mengulum bibir menahan senyum. Ia tidak menyangka kalau akan secepat ini dia mengatakan hal ini kepada Jungwon.

Malam yang terasa dingin bahkan kini terasa hangat. Bulan dan bintang di langit mungkin ikut tersipu malu melihat kedua remaja yang sedang jatuh cinta itu. Bahkan kedua kakak Jungwon yang tadinya asyik bermain game akhirnya menguping pembicaraan mereka.

“Fix habis ini pacaran. Gue udah yakin banget.”

“Kalo kagak dipacarin kita tampol Jay ye bang.”

ketiga pemuda itu sedang duduk di kelas yang sudah kosong. Jungwon membuka bungkus obat yang baru Riki dan Sunoo ambil dari UKS. Pemuda itu mengernyitkan dahi merasakan rasa pahit dari obat yang baru dia telan.

“Ju, akhir-akhir ini lo sakit terus. Nggak mau periksa ke dokter aja?” tanya Sunoo khawatir.

Jungwon menggeleng, “Gue gapapa, Noo. Kemarin gue juga langsung sehat kan?” balas Jungwon tersenyum mencoba meyakinkan sahabatnya.

Sunoo menghela nafas dan tersenyum kecil, “Jangan sakit lagi ya, Ju. Kalo lo sakit gue ikutan sakit,” katanya dengan mata yang sudah sedikit basah.

Jungwon yang melihat Sunoo tertawa lalu memeluknya, “Iyaa, gue bakal jaga kesehatan. Jangan nangis, cengeng banget sih lo,” ucap Jungwon sambil menepuk-nepuk punggung Sunoo.

Jungwon lalu menoleh melihat Riki yang diam saja. Ia lalu melebarkan tangannya mengajak Riki untuk ikut berpelukan. Tak mendapat respon, akhirnya Jungwon menarik Riki dan memeluknya. Mereka berpelukan hanya beberapa detik karena Riki yang jail menggelitik pinggang Jungwon dan Sunoo.

“Jadi inget waktu kelas 6 kita sering pelukan gini,” celetuk Riki mengingat kejadian dulu.

“Sunoo yang selalu minta pelukan nih,” ucap Jungwon sambil menunjuk Sunoo.

“Ih kok jadi gue! Kan dulu kita sering nonton Teletubbies bareng dikaset punya lo, Ju!” kata Sunoo tidak terima.

“Udah woy kenapa malah jadi ribut!” ucap Riki mencoba menengahi.


Dari kecil Jungwon memang memiliki badan yang ringkih. Dari TK hingga SD ia sudah menjadi langganan di rumah sakit. Bahkan semua dokter dan perawat dari bangsal anak mengenalnya. Perlahan kesehatan Jungwon kecil semakin membaik. Saat SMP ia juga sudah tidak sering mengunjungi rumah sakit, padahal dulu hampir setiap bulan ia keluar masuk rumah sakit entah untuk sekedar check up atau memang karena penyakitnya yang kambuh. Namun, yang membuat Sunoo dan Riki sangat protektif terhadap Jungwon sebenarnya karena kejadian saat mereka di kelas 8.

Saat itu sedang musim hujan. Karena suhu yang dingin, Jungwon jadi sering kebelet untuk ke kamar mandi.

“Noo, temenin ke kamar mandi,” ucap Jungwon memohon pada Sunoo.

“Ah males, ini udah ke-empat kalinya lo ke kamar mandi. Sendirian emang nggak berani?” kata Sunoo sedikit ketus.

“Ih kan gue mintanya baik-baik, nggak perlu jutek gitu lah,” ucap Jungwon sambil menekuk bibirnya.

Jungwon akhirnya ke luar kelas menuju kelas Riki. Namun sayangnya kelas Riki sedang ada guru. Akhirnya ia memutuskan untuk ke kamar mandi sendirian.

Jungwon merapatkan jaket birunya, ia mulai berjalan menuju kamar mandi yang berada di pojok bangunan sekolahnya. Namun entah bisikan dari mana, ia tiba-tiba ingin ke kamar mandi yang berada di lantai satu. Sekalian beli makanan di kantin kali ya, pikirnya.

Saat sudah di depan tangga menuju lantai satu, tiba-tiba kepala Jungwon sakit, “Please jangan kambuh dulu,” ucapnya sambil memegang kepala.

Tiba-tiba pandangan Jungwon menghitam dan keseimbangannya hilang.

Jungwon jatuh dari tangga.

Beruntung seorang guru yang sedang lewat melihat kejadian itu dan langsung membawa Jungwon ke rumah sakit. Sunoo yang mendengar kabar itu langsung menuju rumah sakit bersama Riki. Ia menangis melihat Jungwon yang belum sadar di kasur UGD. Ia lalu semakin menangis melihat seragam Jungwon yang sudah penuh dengan darahnya sendiri. Karena kejadian itu, tangan Jungwon retak dan kepalanya robek hingga harus mendapat 13 jahitan.

Sejak kejadian itu, Sunoo dan Riki menjadi protektif terhadap Jungwon. Bahkan kadang lebih protektif dari kedua kakaknya. Karena mereka sudah berjanji tidak akan membiarkan sahabatnya sakit untuk yang kesekian kalinya.

Pemuda bersurai coklat itu berjalan menuju pintu kelas dengan perasaan yang campur aduk. Rasanya mules, panas dingin, gugup, bahkan jantungnya seperti mau loncat dari tempatnya.

Jungwon membuka sedikit pintu kelasnya, mencoba mengintip keluar. Ia bisa mendengar suara Jay yang menyapa balik para siswa yang sepertinya sengaja lewat kelasnya. Jungwon kembali menutup pintu kelasnya dan mulai mengatur nafas. Beberapa teman kelasnya yang tidak keluar untuk istirahat menatapnya bingung.

“Lo bisa ju! Lo bukan cowo lemah yang gampang ambyar!” ucap Jungwon meyakinkan diri.

Jungwon kini membuka pintu kelas dengan lebar. Jay yang menyadari keberadaan Jungwon langsung menghampirinya. Menghiraukan panggilan dari adik kelas yang mencoba menyapanya.

“Nih hadiahnya,” ucap Jay dengan lembut.

Jungwon mengerjap melihat sekotak susu coklat yang sedang Jay pegang. Ia mendongak melihat sang kakak kelas. Jay tertawa melihat ekspresi kebingungan Jungwon.

“Hadiahnya sekarang ini dulu, besok kapan-kapan gue kasih yang lebih mahal,” ucap Jay mencoba menjelaskan.

Jungwon menggeleng keras dan langsung mengambil susu coklat yang berada di tangan Jay, “Nggak perlu kak, ini juga cukup banget kok,” kata Jungwon gelagapan.

“Gue serius, besok kapan-kapan gue kasih hadiah yang lebih bagus dan lebih awet dari ini,” ucap Jay sambil mengusap pelan rambut Jungwon.

Jungwon membeku, ia menipiskan bibirnya menahan diri untuk berteriak.

Jay terkekeh kecil melihat sang adik kelas terdiam. Bahkan Jungwon saat ini menunduk tidak berani melihatnya.

“Ya udah gue balik kelas dulu. Susunya langsung diminum biar semangat belajarnya,” ucap Jay membuat Jungwon kembali menatapnya dan mengangguk kecil.

“Makasih kak,” ucap Jungwon dengan tulus.

“Sama-sama. Belajar yang bener, gue sukanya sama orang yang pinter,” ucap Jay sedikit berbisik kemudian berjalan pergi meninggalkan Jungwon.

Jungwon terdiam. Ia menoleh melihat Jay yang sudah menjauh. Pemuda itu kemudian tersenyum lebar dan melompat-lompat kecil merasa senang. Ia lalu kembali masuk ke kelas dengan sekotak susu ditangannya. Tanpa ia sadari, banyak yang melihat itu dan merasa iri dengannya.

“Pertama kalinya gue liat kak Jay romantis begitu...” ucap Wonyoung yang sedari tadi melihat Jungwon dengan Jay.

“Iya, padahal biasanya dia cuek...” balas Jihan dengan lemah.

“Kak Jay ternyata kalo sama orang yang dia suka soft banget ya...” kata Ayin memuja Jay.

“Adek bangun!!”

Dari tadi Jake sudah sibuk meneriaki adiknya yang belum juga bangun. Kamarnya juga terkunci. Pemuda itu kembali menggedor pintu kamar sang adik, “Dek, kalo kamu beneran nggak bangun abang dobrak pintunya nih,” ancam Jake.

Tidak ada balasan.

Jake menghela nafas panjang, kemudian mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar Jungwon. Lalu tiba-tiba pintu kamar terbuka menampilkan sang adik yang sudah siap dengan seragamnya yang rapih, tapi dengan wajah yang terlihat murung.

Jake menyadari itu, “Kamu kenapa?” tanya Jake khawatir sambil memegang pipi Jungwon dengan kedua tangannya.

Jungwon yang ditanyai begitu malah merengek. Ia lalu memeluk kakaknya secara tiba-tiba yang membuat Jake hampir kehilangan keseimbangannya. Heeseung yang baru keluar kamar dengan rambut basah dan handuk dipundaknya melihat mereka heran.

“Ada apanih? Morning hug?” tanya Heeseung.

Jake mengangkat kedua bahunya, ia juga tidak paham situasi saat ini. Heeseung akhirnya memeluk Jake yang sedang memeluk Jungwon. Mereka bertiga kini berpelukan seperti Teletubbies.

“Ayo sarapan, abang udah buat buatin nasi goreng,” ajak Jake masih dengan posisi yang sama.

Jungwon mendongak, matanya berbinar, “AYO!!” katanya riang.

Heeseung merasa gemas. Ia lalu mencubit pipi sang adik, “Adek gue gemes banget sih.”

Jungwon mencibir, “Emang! Sekarang lepasin pelukannya, aku gerah,” ucap Jungwon mencoba mengeluarkan diri dari pelukan sang kakak.

“Kayaknya kita harus pelukan tiap pagi,” celetuk Heeseung tiba-tiba.

“Biar makin akrab,” lanjutnya.

Jake dan Jungwon menatap geli Heeseung, “Ayo dek kita sarapan aja,” ucap Jake menarik Jungwon pergi meninggalkan Heeseung.

Heeseung menghela nafas, “Gua butuh afeksi,” katanya dengan nada yang dibuat-buat.

Jake dan Jungwon yang masih bisa mendengar itu menoleh dan menatap horor Heeseung.

Jungwon menatap Jake, “Kita harus cariin bang Heeseung pacar,” ucap Jungwon dan ditanggapi anggukan serius dari Jake.


Jake memandangi adiknya yang masih sibuk dengan ponselnya. Jungwon terkekeh kecil, lalu sibuk mengetikkan balasan pesannya.

“Dimakan dulu dek, bentar lagi kita berangkat,” ucap Jake mencoba sabar.

“Lagian sibuk chat sama siapa sih? Sampe ketawa-ketawa sendiri gitu, ” goda Heeseung sambil menyenggol lengan Jungwon yang duduk di sebelahnya.

Jungwon meletakkan ponselnya di meja, “Riki diare habis minum yogurt basi,” katanya lalu tertawa lagi membayangkan Riki yang harus bolak-balik ke toilet.

Heeseung terkejut, “Kok bisa anjir minum yogurt basi?” tanyanya heran.

“Gatau, emang aneh anaknya,” balas Jungwon cekikikan.

“Terus tadi kamu cemberut kenapa?” tanya Jake mencoba nimbrung.

Jungwon yang sedang tertawa jadi menghela nafas. Pemuda itu kembali mengerucutkan bibir. Ia lalu membuka ponselnya dan memberikannya pada Heeseung yang duduk di sebelahnya.

Heeseung yang bingung tetap menerima ponsel yg diberikan adiknya. Terlihat sebuah room chat Jay dengan adiknya. Ia membaca dengan ekspresi datar, lalu memberikannya pada Jake yang duduk di depannya. Jake mengambil ponsel itu dan membaca kembali chat adiknya dengan Jay.

“Terus kenapa?” tanya Jake bingung.

Jungwon mendecak sebal, “Itu kak Jay marah sama aku,” jawab Jungwon dengan sedih.

“Biasa aja ah, emang dia anaknya rada cuek gini,” kata Heeseung dengan mulut yang masih sibuk mengunyah.

“Ditelen dulu apa gimana, keselek mampus lo,” ucap Jake geram melihat kembarannya.

“Jay biasanya kalo bales ke orang lain lebih cuek, dek. Ke abang aja biasanya cuma ya, nggak, ok, sama hm doang,” ucap Heeseung setelah benar-benar menelan makanannya. Jake mengangguk menyetujui.

“Beneran?” tanya Jungwon sedikit tidak percaya.

“Iya beneran, emang gitu anaknya. Dari chat malah menurut abang dia care sama kamu,” goda Jake sambil menaik turunkan alis.

Jungwong mengernyit, “Enggak ah, biasa aja...” ucap Jungwon malu-malu.

“Ciee pipinya merah tuh dek,” ledek Heeseung ikut menggoda adiknya.

Raut wajah Jungwon berubah perlahan. Ia menipiskan bibir, mencoba menahan senyum. Ia bahkan bisa merasakan pipinya memanas. Jungwon mengerjap mengingat sesuatu, lalu mengalihkan wajahnya menatap kedua kakaknya secara bergantian.

“UDAH HAMPIR JAM 7 NANTI KITA TELAT!!”

Jungwon memasukkan hp-nya dengan tergesa ketika melihat Jay mendekat. Pemuda itu meminum susu coklat yang baru saja ia beli mencoba untuk menghilangkan gugupnya.

Jay menghampiri Jungwon dan berdiri di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berdiri di pinggir koridor penghubung antara kelas 11 dengan kelas 10.

Keadaan sepi, hanya ada suara rintik hujan yang memecahkan keheningan saat itu. Kebanyakan murid lebih memilih untuk tetap di kelas karena hujan pagi ini cukup deras.

kedua pemuda itu hanya diam. Jungwon diam-diam melirik melihat Jay yang sedang mendongak melihat air hujan yang jatuh dari langit. Jungwon merapatkan bibir dan merunduk. Entah kenapa ia merasa canggung, tapi ia juga merasa nyaman.


Jungwon merasa ada pergerakan dari orang sebelahnya membuat ia menoleh. Ia mengerjapkan mata beberapa kali ketika melihat Jay yang sedang melepaskan hoodie abu-abu miliknya.

“Nih dipake,” ucap Jay memberikan hoodie-nya.

Jungwon menggeleng keras, “Nggak usah kak, kakak aja yang pake.”

“Gue maksa, cepetan dipake. Tangan gue pegel nih,” ucap Jay sambil menarik tangan kanan Jungwon dan memberikan hoodie miliknya.

Mau tak mau Jungwon menerimanya. Ia mengerucutkan bibir, “Padahal nggak usah,” cicitnya pelan.

Jay tertawa mendengar itu, “Gue tau lo kedinginan. Kegedean ya?”

Jungwon mengangguk lucu. Hoodie milik Jay terlalu besar untuk tubuhnya.

“Gapapa, jadi lucu. Udah sana balik kelas, makin dingin di luar gini,” ucap Jay sambil mencubit pipi Jungwon dan menggoyang-goyangkannya gemas.

“Lepasin dulu kak,” kata Jungwon mencoba menurunkan tangan Jay.

Begitu tangan Jay terlepas, Jungwon langsung berlari meninggalkan kakak kelasnya itu. Jungwon lalu memutar badan untuk melihat Jay yang masih berdiri di tempatnya, “Dah babaii,” ucapnya sambil terus berlari.

Wajah Jungwon merekah. Ia bahkan sudah tidak peduli dengan pipinya yang memanas.

Dan Jay...

Ia sedang mencoba menetralkan detak jantungnya. Pemuda itu merasa dirinya seperti ditembak tepat di dada. Ia lalu menutup mulut dengan telapak tangan untuk menutupi senyum yang sudah tak dapat ia tahan lagi.

Jungwon kembali menghela nafas, ia sedikit kecewa karena hari ini tidak bertemu dengan Jay. “Padahal gue udah pake baju bagus, wangi, sampe tadi bunda bantu catokin rambut, eh malah nggak ketemu Kak Jay,” ucap Jungwon sambil menekuk bibirnya.

Jungwon sedikit terkejut ketika ada panggilan masuk. Ia mendecak kesal ketika melihat nama kakaknya dilayar handphone-nya.

“Iya abang, ini aku juga lagi jalan. Tinggal belok terus nyampe parkiran nih,” ucap Jungwon mempercepat langkahnya menuju ke tempat parkir.

“Abang udah laper dek pengin cepet pulang.”

“Iya iyaa abang, bawel banget sih,” ucap Jungwon memutar bola matanya.

“Aduh!”

Jungwon terkejut melihat orang yang baru saja menabraknya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali mencoba meyakinkan diri bahwa ini bukan imajinasinya.

“Maaf, lo gapapa?” tanya orang itu pada Jungwon.

Jungwon mengangguk, “Iya gapapa kak heheh. Salah aku juga nggak fokus,” jawab Jungwon sambil meringis kecil.

“Eh maksud aku gue. Ish gue ngomong apaan sih,” ucap Jungwon frustasi.

Jay yang melihat itu tertawa geli, “Kalo gapapa ya bagus deh,” ucap Jay tersenyum menatap Jungwon.

Jungwon yang ditatap oleh Jay membeku di tempat.

“Wah, pangeran di seluruh dunia aja kayaknya kalah ganteng sama lo kak.”

Jungwon memukul kepalanya, “Ish gue mikir apaan sih.”

Jay tertawa lagi, lalu mengangkat tangan kanannya menyentuh puncak Jungwon. “Jangan dipukul nanti sakit. By the way gue pergi dulu ya dek, udah ditungguin nih,” ucap Jay yang kemudian berjalan menjauh meninggalkan Jungwon yang masih membeku di tempatnya.


“Adik lo udah kena pelet, Jake.”

“Dia adik lo juga. Jangan-jangan nanti dia bakalan masuk list orang yang ditolak Jay.”

Heeseung menoleh menatap Jake yang ikut menatapnya. Mereka berdua lalu menghela nafas. Sepertinya Jungwon benar-benar sudah terkena pelet milik sahabatnya itu.

Ketiga remaja itu kini sudah duduk melingkar di meja paling depan dekat dengan meja guru—meja Adam. Bian bahkan harus menggeret kursi miliknya yang berada di barisan ketiga karena sekolah mereka memang duduknya sendiri-sendiri. Teman-temannya yang lain pun sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang tidur, pergi ke kantin, belajar, bahkan nonton drakor.

“Taraaa,” ucap Bagas sambil mengeluarkan botol berisi air lemon yang seperti ia bawa dari rumah.

“Wah beneran niat banget,” kata Bian menggeleng-gelengkan kepala.

“Terus nentuin yang kena tod-nya gimana?” tanya Adam penasaran.

Bagas menyeringai, “Pake pulpen.”

Adam dan Bian melongo sambil menatap heran sahabatnya. Bagas yang ditatap oleh kedua sahabatnya hanya tertawa, “Ayolah mulai. Bakalan seru nih!”

Bagas mulai memutarkan pulpen miliknya. Pulpen itu berhenti tepat mengarah ke Bian. “Yahhh, kok gue sih? Curang ya lo!” kata Bian menunjuk Bagas dengan kesal.

Bagas mendelik, “Curang gimana anjir, orang pulpennya yang ngarah ke lo sendiri. Kecuali gue Dedi Corbuzier, baru gue sulap nih pulpen biar ngarah ke lo terus!” jawabnya tak kalah ngegas dengan Bian.

Adam yang melihat keduanya menghela nafas, “Mau lanjutin gamenya apa mau ribut aja? Kalo mau ribut sekalian di lapangan basket noh biar diliatin semua orang.”

Bagas dan Bian terdiam. Mereka berdua kompak meminta maaf, persis seperti adik yang baru saja dimarahi oleh kakaknya.

“Jadi siapa yang mau tanya duluan?” tanya Bian menatap kedua sahabatnya bergantian.

“Gue,” jawab Bagas dengan semangat, “Lo suka sama Azka nggak?” tanyanya dengan penasaran.

Bian melirik sinis Bagas yang berada disebelahnya. Ia mendecak pelan, “Gatau, tapi emang kadang kalo gue deket sama dia suka deg-degan. Terus nyaman juga kalo lagi sama dia, kaya lagi bareng kalian gini,” jawab Bian jujur.

Adam menuangkan cairan berwarna pucat di dalam botol yang berada di depannya, “Nih minum,” kata Adam memberikan tutup botol yang sudah terisi penuh dengan air lemon.

Bagas mengangguk puas mendengar jawaban Bian, “Oke gue minum nih ye.”

Adam dan Bian tertawa puas melihat ekspresi Bagas setelah ia meminum air lemon. “Sumpah lo jadi jelek banget gas HAHAHAHA,” celetuk Bian sambil memukul meja melampiaskan ketawanya.

“Ayo lanjut-lanjut! Awas ya lo,” kata Bagas menunjuk Bian. Bian yang ditunjuk malah melet mengejek.

Pulpen kembali diputar dan berhenti mengarah ke Adam.

“WOWWW”

“Gue mau nanya!!” ucap Bian dengan semangat.

“Gue juga mau nanya!” ucap Bagas menoleh ke arah Bian.

“Kan lo udah tanya ke gue tadi!”

“Nggak ada aturan boleh nanya sekali yeee.”

Bian mendecak, ia jadi memikirkan juga bila harus meminum air lemon, “Yaudah lo aja yang tanya,” katanya pasrah.

Bagas menepuk bahu Bian, “Sabar ya nak, nanti kalo sabar pantatnya lebar,” kata Bagas mengejek Bian.

Bian langsung menarik rambut Bagas dan memukul dadanya hingga berbunyi. Bagas hanya mengeluh kesakitan. Sedangkan Adam benar-benar jengah melihat kelakuan sahabatnya yang selalu ribut.

“Ini jadi nanya kagak?” tanya Adam mencoba melerai.

Bagas mencoba melepaskan tangan Bian yang berada dirambutnya, “Jadi lah! Aw Bian sakit beneran anjing.”

Bian melepaskan tangannya dan memukul bahu Bagas sekali lagi. Bagas hanya pasrah menerima semua perlakuan Bian.

“Lo suka sama Bian?” tanya Bagas tiba-tiba dengan sedikit berbisik.

Bian terdiam.

Apa-apaan dengan pertanyaan Bagas.

Adam terdiam beberapa saat. Bian menatap Adam yang tengah menatapnya juga. Tangan Adam meraih tutup botol yang sudah terisi air lemon dengan tenang. Pemuda itu meminumnya dengan sekali tegak. Ia bahkan tidak mengeluarkan ekspresi apapun seperti sudah terbiasa meminum cairan pucat yang sangat asam itu.

Hening.

“Gue mau ke toilet dulu,” pamit Bian beranjak pergi.


“Jadi lo bakalan confess?”

“Liat nanti.”

Jungwon dan Sunoo berjalan menuju ruang OSIS yang letaknya cukup jauh dari kelas mereka. Saat ini sudah istirahat, kegiatan MPLS yang mereka lakukan ternyata tidak menakutkan seperti yang Jungwon pikirkan. Ia berpikir semua murid baru akan dijemur di tengah lapangan hingga sore dan dibentak-bentak. Kegiatan hari ini bahkan lebih banyak di dalam kelas, hanya tadi sempat diajak berkeliling oleh kakak panitia untuk menunjukkan posisi ruangan-ruangan yang ada di sekolah seperti laboratorium, ruang komputer, ruang guru, dan lain-lain.

“Lo bawa bekal juga?” tanya Jungwon menoleh menatap Sunoo.

Sunoo mengangguk, “Bawa, tapi semoga aja belum dimakan sama Riki.”

“Kalo dimakan dia tinggal minta ganti rugi McD seminggu,” sahut Jungwon tertawa.

“Segitu mah kecil buat dia,” ucap Sunoo yang ikut tertawa juga.

Jungwon dan Sunoo kini sudah berada di depan pintu ruang OSIS yang tertutup rapat. Mereka berdua sudah berdiri di depan pintu itu sekitar 3 menit.

“Lo yang ketuk pintunya,” ucap Jungwon mendorong Sunoo ke depannya.

Sunoo mendecak pelan, “Kan yang ada urusan elo, kenapa gue yang ngetuk pintu?” ucapnya sambil mundur ke belakang dan mendorong Jungwon untuk maju.

“Ih lo aja, gue takut tau!” kata Jungwon kembali mendorong Sunoo untuk maju ke depan pintu ruang OSIS.

Sunoo melotot dan kembali ke belakang Jungwon yang akhirnya membuat mereka saling dorong. Mereka berdua bahkan tidak sadar kalau Jake sudah membuka pintu ruang OSIS dengan lebar.

Jake menghela nafas dalam, “Berhenti!” ucapnya mencoba menghentikan kedua orang di depannya yang masih saling mendorong.

Jungwon dan Sunoo berhenti mendadak. Jungwon meneguk ludah mendengar suara kakaknya. Pemuda itu lalu menoleh melihat Jake yang sudah menyilangkan tangan.

“Nih bekalnya, udah sana balik kelas. Jangan lupa minumnya yang banyak,” ucap Jake memberikan tupperware berwarna biru milik adiknya.

Jungwon mengerucutkan bibir, “Abang Heeseung mana?” tanyanya mencari keberadaan sang kakak pertama.

Jake menyingkirkan tubuhnya dari pintu dan memperlihatkan Heeseung yang sedang fokus bermain game di handphone-nya. Jungwon tersenyum dan menyapa kakaknya, “Abang jangan lupa makan!”

Heeseung menoleh sebentar melihat adiknya, “Iya adek juga,” jawabnya kembali fokus bermain game.

Jungwon mendecih, semua kakaknya kalau sudah bermain game pasti tidak akan peduli dengan sekitarnya. Pandangan Jungwon kini beralih ke seseorang yang duduk di sebelah Heeseung. Orang itu sedang tertawa bersama kakaknya. Entah kenapa rasanya ia baru saja dihipnotis hanya dengan mendengar suara tawa dari orang itu.

“Udah sana balik, bentar lagi waktu istirahatnya kelar,” ucap Jake mencoba mengusir Jungwon dan Sunoo.

Sunoo yang dari tadi diam pun akhirnya bicara, “Emang ini mau balik. Bye!”

Sunoo langsung menarik tangan Jungwon untuk kembali ke kelas mereka. Jungwon yang masih fokus melihat teman sebelah kakaknya itu refleks berteriak karena kaget tiba-tiba tangannya ditarik oleh Sunoo. Jake yang melihat kepergian Jungwon dan Sunoo hanya tertawa.

“Dasar choco ball.

Jake tertawa lagi. Adiknya benar-benar menggemaskan.